Naima, 30 tahun, seorang dosen yang cerdas didesak untuk menikah oleh kedua orang tuanya. Rangga, Mahasiswa Abadi terancam DO dari kampus karena tidak lulus-lulus. Bagaimana jika keduanya menikah? Naima membantu Rangga untuk menyelesaikan kuliahnya dan Rangga membantu Naima menanggalkan cap perawan tua yang disandangnya. Apa jadinya pernikahan mereka?
Cerita lengkap tersedia di Innovel📜Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi📜
Perawan Tua
Naima memijit kepalanya lelah, setiap hari perdebatan dengan sang Ibu seputar itu-itu saja. Ibunya mengeluh seolah-olah dia adalah Ibu yang paling malang di dunia karena anak gadisnya tak laku-laku.
Andaikan mencari seorang suami semudah menemukan kucing anggora, pasti dia sudah menikah dari dulu, apa lagi yang bisa di lakukannya, laki-laki di luar sana lebih memilih wanita tamat SMA dari pada perawan tua sepertinya.
"Kau ini, jangan lagi memilih-milih, Pak Broto belum terlalu tua, dia baru empat puluh lima tahun, anaknya pun sudah besar, kau tinggal dapat enaknya saja."
Ibunya mengomel sambil merajang sayur di dapur.
"Ibu, tidak adakah yang lebih baik dari itu?"
Ibu Naima membalikkan badan, memandang Naima geram.
"Kau terlalu pemilih, aku sungguh malu kepada warga satu RT, yang selalu menanyakan kamu kapan nikah."
Naima memejamkan matanya lelah, rasanya dia lebih memilih menghabiskan waktu di kampus dari pada berdebat tanpa akhir dengan ibunya.
Naima meninggalkan ibunya, gadis berhijab dan berwibawa itu masuk ke dalam kamar dan akan keluar di saat saat tertentu saja, supaya tidak ditanya lagi, kapan nikah? kalau ada jodoh, dia mau menikah sekarang juga.
Apa yang kurang darinya, dia cukup cantik, tubuhnya bagus, karirnya mantap, tapi laki-laki selalu mundur bahkan sebelum mengenalnya lebih jauh.
***
Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sudah dua jam dia membaca bab satu proposal skripsinya, dan sampai sekarang dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang dibuatnya. Mungkin dia menulisnya sambil mengingau.
Judul ini dicarikan oleh juniornya sehingga bisa lulus saat seleksi pengajuan judul proposal penelitian, sekarang adik tingkatnya sudah wisuda, meninggalkan Rangga yang merana dengan proposal nya sendiri.
Satu tahun sudah, proposal itu didiamkan dan dimasukkan ke dalam kardus harta karunnya. Sekarang dibuka kembali, ah! andai saja menulis proposal itu semudah menulis surat cinta.
Bapaknya begitu berharap kepadanya, dia anak satu-satunya yang dibanggakan, mendapatkan gelar sarjana adalah mimpi bapaknya dari dulu, walaupun di masa SMA tinggal kelas satu kali.
Dia anak kepala dusun di kampungnya, bapaknya sangat di hormati dan dituakan, apa kata dunia jika dia pulang tanpa membawa ijazah.
Selama ini dia berhasil mencari alasan, ketika sang Bapak bertanya kenapa belum juga lulus, bahkan dua bulan terakhir, uang sakunya sudah dikurangi. Terpaksa wajah ganteng bak Aamir Khan semasa muda itu terkena sinar matahari karena dia sekarang bekerja sebagai tukang ojek online.
Mau bagaimana lagi, tidak bekerja ya tidak makan, uang yang dikirim bapak dari kampung hanya cukup membayar biaya kuliah.
Ucapan Bu Dosen tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat kepalanya serasa mau pecah, bertemu dosen cantik itu malah membuat dia trauma.
Bu Dosen yang entah siapa namanya itu, orangnya galak, tegas, tidak bisa diajak bercanda sedikit pun. Andai saja seperempat kemampuan Bu Dosen itu ada padanya, pasti kuliah terasa lebih indah.
"Apa yang mau saudara teliti? Kalau tidak terjadi masalah dalam kasus ini? masalah itu akan terjadi jika teori tidak sesuai dengan kenyataan, pelajari lagi! besok temui saya! kalau saudara tidak paham juga, terpaksa saudara ajukan judul baru."
Rangga mengacak rambut gondrongnya sehingga menjadi berantakan, dia pusing dan tidak mengerti, jika tidak lulus juga, dia akan digantung oleh bapaknya sendiri.
Rumah, sawah dan ladang sudah tergadai demi menyekolahkannya setinggi ini. Dia kuliah di tempat orang kaya pula, biaya kuliah dan biaya gaya hidup yang tidak sedikit.
Andaikan boleh memilih, dia akan memilih terlahir dengan wajah biasa saja tapi memiliki otak cerdas, dari pada wajah mengalahkan artis Aamir khan waktu muda, tapi otaknya lemot.
Rangga membanting-banting kepalanya ke sisi meja. Tak ada sedikit pun ide keluar dari sana, mungkin emaknya dulu terjatuh waktu mengandung dia, sehingga otaknya terbentur dan tidak bisa menangkap pelajaran.
Rangga mengalihkan pandangan, saat teman kosnya yang jauh lebih muda masuk ke kamar itu, namanya Zaki, masih semester satu, tapi otaknya luar biasa encer.
"Ada apa, Bang?"
Zaki melirik tumpukan kertas di hadapan Rangga. Ya Tuhan, anak itu lebih cocok memanggilnya paman daripada sebutan Abang.
"Biasalah, derita baru masalah lama."
"Ooh," jawab Zaki. "Pinjam carger ya, Bang."
Rangga memberi isyarat, Zaki pun keluar dari kamarnya.
Sekarang sudah jam satu dini hari, besok dia akan menemui Bu Dosen galak, dia hanya pasrah sekarang ini.
"Ibu Peri, turunlah, tolong aku!" ucapnya masuk ke dalam selimut, tanpa menunggu lama, dia masuk kedalam mimpi.
Naima membuka hijabnya, sungguh dia sangat lelah sekarang ini. Seharian di kampus mengurus Rangga Paradipta, mahasiswa tua yang belum juga tamat.
Rangga baru saja dipindahkan oleh ketua jurusan kepadanya, dia bertindak menjadi Penasehat Akademik anak itu setelah para Dosen lain mengatakan menyerah.
Naima sudah lama mendengar namanya, karena Rangga sangat populer dengan gelar Mahasiswa Abadi yang disandangnya. Benar saja, dia bahkan sudah semester tiga belas dan terancam DO, kesempatannya cuma tinggal satu semester lagi.
Naima menggeleng melihat rekap transkrip nilainya, nilai C dan D bertaburan seperti bintang di langit. Rangga hanya menanggapi dengan lesu saat Naima memaksanya menunjukkan rekap nilainya itu.
Skripsinya masih bab satu, dan itupun belum tuntas. Naima heran, apa saja yang dilakukan Rangga selama bertahun tahun di kampus.
Rangga adalah kasus sulit yang harus di selesaikannya, saat ini keprofesionalannya sedang di pertaruhkan.
Rangga... Naima hampir tertawa jika membayangkan wajah itu, wajah bak model tapi kualitas IQ yang rendah, ditambah dengan sifat pemalas akut yang dideritanya.
Rangga sampai bersimpuh di kaki Naima supaya dia bisa lulus dengan bantuan Naima.
"Buk, sawah ladang sudah tergadai menguliahkan saya, kalau saya DO, saya akan digorok oleh bapak di kampung."
Seharusnya Naima prihatin dengan keluh kesah mahasiswanya itu, tapi dia malah tertawa. Seolah-olah dia tengah dilamar.
Naima menghela nafas mengingat kejadian tadi, sekarang dia siap tempur menyelamatkan mahasiswa abadi yang bernama Rangga.
"Oke, aku harus buat list dulu untuk menyelesaikan masalah Rangga satu persatu."
Calon Mertua
Naima mengaduk sarapannya bosan. Sepiring nasi goreng dan ocehan ibunya adalah paket lengkap sarapannya setiap pagi. Kalau ada remot untuk menghentikan orang berbicara, maka dia akan membelinya.
Ibunya cerewet luar biasa, terkadang dia berniat punya rumah sendiri, supaya dia bisa hidup dengan nyaman, tapi mengingat ayahnya yang sudah sakit-sakitan, dia menjadi tidak tega.
"Pak Broto akan datang melamarmu nanti malam, siapkan penampilan terbaikmu! kalau kau tak pulang cepat, aku akan menyeretmu dengan paksa dari kampusmu."
"Ibu, kenapa ibu memperlakukan aku begini?" Naima tidak terima, ibunya yang tadi membersihkan sayur, berbalik menatapnya, melempar kain lap yang ada di tangannya ke sembarang tempat.
"Kau itu gadis bodoh, hanya karena kau dikhianati, kau tak berniat untuk menikah."
"Aku bukannya tak berniat, ibu. Hanya saja...."
"Hanya saja kau mau menunggu pria pembohong itu untuk bercerai dengan istrinya lalu menikahimu, begitu?"
Naima tak tahan lagi, "Bu, jangan ungkit masalaluku, aku mohon, Bu." Dia berusaha meredam amarahnya.
"Kenapa? Itu kenyataan, aku ini ibumu, kau tak bisa menyembunyikan apa pun dariku, sekarang kalau kau ingin selamat, bawa sendiri laki-laki yang kau inginkan menghadap bapakmu nanti sore, sebelum Pak Broto datang."
Tegas dan tidak bisa dibantah, Naima tahu persis siapa ibunya.
Dia meninggalkan sarapannya, meraih kunci mobilnya dan pergi secepatnya meninggalkan rumah. Mau dicari ke mana calon suami dalam waktu sepuluh jam, rasanya dia ingin mati saja.
****
Naima memijit kepalanya pelan, dia benar-benar pusing.
Pintu diketuk perlahan, Naima mempersilahkan orang itu masuk tanpa melihatnya.
"Selamat pagi, Bu."
Suara bass yang cukup familiar, Naima mengangkat wajahnya, menilai laki-laki yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima senti meter itu.
Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, tersenyum kikuk, apakah penampilan masuk kedalam penilaian? kali ini dia hanya menggunakan kemeja pendek dengan celana jins robek di bagian lutut.
"Duduklah!" perintah Naima, dia menghela nafasnya agar fikirannya bisa fokus.
"Mana proposalmu?"
Rangga mengeluarkan lembaran kertas itu ragu-ragu, Naima melihat satu persatu, kertas itu tak ada perbaikan sama sekali.
"Apa ini?" Dia memandang Rangga yang menggaruk kepalanya.
"Eh, itu, Bu... saya ... saya gak ngerti."
"Jadi apa saja kerja saudara tadi malam? bahkan tak ada coretan sedikit pun di sini."
Otak Naima tambah pusing,
"Bu, please Bu! mohon bantu saya lulus semester ini, kalau tidak, saya bisa mati."
Rangga menautkan jari-jarinya penuh permohonan.
"Rangga, lulus atau tidak, semua tergantung usahamu sendiri, saya cuma bisa membantu."
"Bu, saya mohon! saya akan lakukan apa saja yang ibu pinta asalkan saya bisa lulus."
Rangga berlutut, bahkan tangannya seenaknya mampir ke paha Naima untuk berpegangan, Naima menyingkirkan tangan itu dengan marah.
"Maaf, Bu! saya gak sengaja."
"Duduk di kursi!" perintah Naima, Rangga menurut.
"Benar kamu akan melakukan apa saja?"
Naima mencoba peruntungannya, ini gila, tapi terpaksa dilakukannya.
"Saya bersumpah, asalkan saya nggak disuruh terjun dari gedung, akan saya lakukan, saya nggak mau mati sekarang, saya masih perjaka, Bu."
Naima menggeleng-geleng. Mahasiswa aneh.
"Kau pikir aku sejahat itu."
"Jadi apa yang harus saya lakukan?"
"Gampang saja, nanti ikut ke rumah saya, menyamar jadi calon suami di depan keluarga saya, bisa?"
"Itu saja, Bu? Itu mah kecil..
" Rangga tersenyum remeh.
"Jam lima sore, kita akan temui orang tua saya, beraktinglah sebaik mungkin, saya akan menjamin kelulusan saudara di semester ini."
"Wah, terimakasih, Bu." Rangga tersenyum bahagia, berniat memeluk Naima, Naima melotot sehingga tangan itu berhenti mendadak.
"Jangan menyentuh saya sembarangan! faham?"
Rangga kembali nyengir, tapi dasar mulut tak bisa direm dia malah melontarkan pertanyaan yang membuat Naima marah.
"Ngomong-ngomong kok saya yang harus pura-pura? Ibu nggak laku, ya?"
Naima mendelik ke arahnya. "Mau lulus atau tidak? Saya tidak punya waktu mencari calon suami, jangan banyak bicara, tapi banyak bekerja, di situ kelemahan saudara selama ini."
"Iya, Bu." Rangga menundukkan wajahnya.
"Sini! saya bantu!"
Naima meraih proposal itu, menerangkan satu persatu secara detail, Rangga mengangguk-angguk, awalnya dia masih tidak paham, tapi Naima tidak menyerah menjelaskannya sampai Rangga mengerti.
Suara tegas Naima dan wangi mawar yang tercium di hidung Rangga menjadi penyemangat tersendiri.
Rangga akhirnya keluar dari ruangan dengan wajah berbinar setelah dua jam konsultasi, dia sudah tau apa lagi yang akan dikerjakannya. Dosen cantik itu membuat daftar khusus untuknya setiap hari, daftar itu harus ditaati. Menaati atau mati, Rangga terbayang kumis tebal bapaknya.
***
Rangga mematut dirinya di depan cermin, baru saja Naima membelikannya satu stel pakaian bermerek yang harganya cukup mahal. Rangga benar-benar merasa seperti bintang film, kenapa tidak ada satu produser pun yang meliriknya untuk menjadi artis, dunia memang aneh.
Naima masuk tidak sabaran ke ruang ganti itu, menunggu Rangga layaknya menunggu penganten yang sedang bersolek.
"Kenapa lama sekali? Bapak saya sudah nunggu, ini sudah jam lima lewat sepuluh."
"Eh, iya, Bu." Rangga meraih ranselnya. Baju baru memberi aura positif padanya, dia menjadi bersemangat.
Mereka berangkat dengan mobil Naima, Rangga tak berhenti mengagumi mobil mungil itu.
"Gaji sebagai dosen besar, ya, Buk? mobilnya kelihatan mahal."
"Nggak juga," jawab Naima, dia konstentrasi menyetir.
"Nanti kalau Ayah nanya, kamu jawabnya iya iya aja, jangan asal bicara, ngerti?"
"Beres, Buk." Rangga mengangkat tangannya seperti memberi tanda hormat.
Tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di rumah Naima. Rumah sederhana tapi sangat bersih dan asri. Bermacam-macam bunga warna- warni dan tanaman hias lainnya tertata rapi di pekarangan rumah, ada kolam kecil dengan air mancur yang didisain apik dan begitu menawan.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi kesannya begitu luas dengan penataan perabotnya, rumah ini bersih, menggambarkan pemiliknya yang suka kerapian dan keteraturan.
Benar saja, baru saja Rangga mengucapkan salam, dua orangtua yang diyakini sebagai orang tua Naima sudah duduk tegap di sandaran kursi tamu.
Rangga menyalami dan mencium tangan ke dua orangtua Naima dengan hormat, tak lupa senyum yang teramat manis dan santun di tunjukkan Rangga. Ayah Naima tampak senang dan tersanjung dengan perlakuan itu, berbeda dengan ibu Naima yang lebih banyak membuang muka.
"Jadi kamu calon suami Naima?" Suara berat itu menggelegar.
"Iya, Om," jawab Rangga mengangguk mantap.
"Panggil Ayah! bukan Om," jawab ayah Naima tersenyum hangat.
Naima ketar-ketir sendiri dengan momen ini.
"Jadi , iapa namamu, Nak?"
"Saya Rangga, Om, eh Ayah."
Naima berdoa, jangan sampai ketololan Rangga keluar saat ini. Sikap pria itu bisa menghancurkan rencananya.
"Berapa usiamu?"
"Saya dua puluh tujuh, Om, eh! Ayah, he he." Rangga salah tingkah.
"Masih muda tiga tahun dari Naima, tapi tidak masalah...."
Ayah Naima mengangguk-angguk lagi, ibu Naima melotot tajam pada anaknya, mata itu menyiratkan, "Kau temukan di mana anak ini?"
"Kerja di mana?"
Inilah pertanyaan yang ditakuti Rangga, dia tak mungkin mengatakan kalau dia hanya tukang ojek online.
Naima mengusai keadaan lalu menjawab tenang.
"Rangga bekerja di perusahaan transportasi, Yah."
"Ooo, bagus itu, Nak. Rangga serius dengan Naima, kan?"
"Iya, Yah." Rangga mengangguk mantap. Seperti perintah Naima, dia cuma perlu mengatakan iya-iya saja.
"Berapa lama kalian saling mengenal?"
"Enam tahun, Yah." Naima menyela cepat.
"Sudah cukup lama. Baiklah, dua hari lagi kalian menikah, suruh orang tuamu datang melamar besok, ya!"
Rangga dan Naima seolah-olah seperti disambar petir, dia tak menyangka sandiwara ini berakhir serius. Menikah? Dengan Rangga? Apa jadinya pernikahan mereka nanti.
Rangga menoleh kepada Naima dengan pandangan meminta tolong,
"Bu, bagaimana ini?" Bisiknya.
Cerita lengkap tersedia di Innovel📜Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi📜
Ijab Qabul
Naima memarkirkan mobilnya di bawah pohon, di pinggir jalan yang cukup sepi, setelah mendengar ultimatum ayahnya, mereka bergegas pergi dengan alasan Rangga ada telpon mendadak dari kantor.
"Ibu harus tanggung jawab!"
"Saya gak nyangka bakal seserius ini."
"Saya belum mau menikah, Bu."
"Kamu pikir saya mau nikah sama kamu?" bentak Naima pusing.
"Jadi, gimana? "
Naima diam, dia tau ayahnya tak pernah menuntut apapun darinya, kecuali menikah, apa yang akan terjadi jika harapan itu tidak terwujud, bisa-bisa ayahnya masuk rumah sakit lagi.
"Begini saja, saya punya penawaran."
"Apa lagi, Bu? Saya jadi takut."
"Kita nikah saja!"
"Nggak mau, Bu." Rangga langsung memotong.
"Kamu ingin lulus, kan?"
"Iyalah, Bu, Ibu juga tau."
"Sebenarnya ini dosa, tapi saya tak punya pilihan demi menyelamatkan nyawa ayah saya, saya tak bisa menolak, ayah saya penderita sakit jantung, saya terpaksa mengabulkannya."
"Maksud, Ibu?" Rangga belum juga mengerti.
"Kita menikah, tapi yang tau hanya orang terdekat saja seperti keluarga inti kita."
"Terus? "
"Kita menikah dengan beberapa kesepakatan, salah satunya tidak ada hubungan suami istri, kita tetap serumah, dengan status suami istri, saya bisa bantu kamu 24 jam membina semua mata kuliahmu dan menyelesaikan skripsimu, bagaimana?"
Rangga cukup tertarik tapi bagaimana dengan pacarnya?
"Saya punya pacar, Bu."
"Pacarmu tak perlu tau kalau kau sudah menikah, gampang, kan? Kita simbiosis mutualisme saja, kau lulus dan saya dapat suami, gimana?"
Rangga memandang wajah mungil milik Naima. Hatinya ragu, tapi sekali lagi, sepakat atau mati.
"Untuk urusan biaya rumah tangga kita saling mengerti saja, saling bantu, gaji saya cukup besar dan saya punya usaha lain yang cukup sukses, tidak ada yang akan dirugikan di sini."
"Deal, Bu." Rangga menjabat tangan Naima, gadis itu tersenyum lega.
***
Semua terjadi begitu cepat, mereka sudah sah menjadi suami istri dua jam yang lalu. Tak ada resepsi sama sekali, cuma syukuran kecil-kecilan yang dihadiri oleh keluarga inti dari ke dua belah pihak, ditambah dengan tetangga-tetangga terdekat.
Awalnya orangtua Rangga terkejut mendengar anaknya memintanya datang ke Jakarta untuk melamar. Bapak marah dan tidak terima, tapi ketika Rangga menceritakan kalau istrinya itu adalah seorang dosen di kampusnya sendiri, Bapak langsung bersemangat dan tanpa pikir langsung terbang ke Jakarta.
Rangga sempat malu, ayahnya datang membawa hasil ladang yang sebenarnya tidak diperlukan. Dimulai dari pisang, nangka, kentang dan ubi jalar. Untungnya ayah Naima malah senang menerima dan merasa tersanjung karena repot-repot membawa semua itu.
Ke dua orang tua mereka langsung akrab, bahkan ibu Naima yang galak malah melayani keluarganya dengan ramah dan sepenuh hati.
Ibu Naima menangis haru, dia merasa bahagia dengan pernikahan ini, dia tak lagi menjadi cibiran ibu-ibu satu RT.
Awalnya ayah Naima berniat mengadakan resepsi besar-besaran, kalau saja tidak dicegah Naima. Dia tak mau orang di kampus mengetahui pernikahannya, dia ingin bermain aman.
Para tamu yang tidak seberapa sudah pulang. Orangtua keduanya sedang duduk-duduk di taman sambil meminum kopi dan makan cemilan. Akad dilaksanakan habis Isya dan sekarang sudah jam sepuluh malam.
Bapak Rangga sangat senang, dia akan menceritakan kepada semua orang jika pulang kampung nanti, bahwa anaknya menikahi dosennya sendiri, dia sangat bangga, walau anaknya agak bodoh dalam belajar, tapi pintar memilih istri.
Rangga dan Naima sudah masuk ke dalam kamar, kamar Naima cukup luas dengan ranjang Queennya. Sangat bersih, rapi dan wangi. Mencerminkan pribadi Naima yang teratur dan disiplin.
Tak ada dekorasi kamar penganten, seprai ranjang Naima hanya diganti dengan yang lebih baru.
Baru saja Naima masuk ke kamar, dia langsung menghempaskan tubuhnya di ranjang, dia sangat lelah selama dua hari ini menyiapkan pernikahan mereka. Rangga lebih banyak bertanya daripada membantu.
Rangga berdecak kagum dengan kerapian kamar itu, kopernya di sandarkan di sebelah rak buku Naima.
Rangga membuka pecinya, duduk tanpa dipersilakan di sofa singgle dekat ranjang.
"Bu, seterusnya gimana?" tanya Rangga saat Naima diam saja.
"Apanya?"
"Masa saya tidur se kamar sama Ibu," jawabnya polos.
"Kamu pikir aku mau sekamar denganmu, hanya malam ini, besok kita pindah, aku punya apartemen yang tidak diketahui keluargaku, bilang saja itu punyamu, supaya kita bisa pindah."
"Mantap, Bu, saya setuju." Wajah Rangga langsung ceria, dia masih seperti anak SMA, tak ada dewasanya sama sekali, padahal umurnya sudah dua puluh tujuh tahun.
"Sekarang saya tidur di mana, Bu?" Rangga mengamati ranjang yang masih lapang.
"Sofa itu cukup untukmu, kita hanya pura-pura, tapi kita tidak mungkin tidur berpisah malam ini, orangtua kita bisa curiga," kata Naima sambil membuka jilbabnya, rambut lurus tebal dan panjang, dia memiliki poni yang membuat dia malah lebih mirip anak SMA daripada wanita berumur tiga puluh tahun.
"Nih!" Naima memberi satu bantal dan sehelai selimut tipis. Rangga meraihnya sambil mengoceh.
"Kalau sampai pacar saya tau, bahwa saya sekamar dengan wanita lain, saya akan digorok, Bu. Pacar saya galak."
"Memangnya kau pernah sekamar dengan dia?" Naima tertarik mencari tau kisah asmara Rangga.
"Enggaklah, Bu.. Saya ini dididik sama orang tua gak boleh kelewat batas, jangankan sekamar, ciuman aja gak pernah, palingan cuma pegangan tangan."
"Memang ada gaya berpacaran yang masih seperti itu?" Naima semakin tertarik, karena saat ini pergaulan anak muda terlalu bebas.
"Ini, saya contohnya. Saya takut, Bu, takut dosa."
Rangga mulai merebahkan badannya, Naima masih sibuk menghapus sisa make-up di wajahnya.
"Bagus itu. Berapa lama kalian pacaran?"
"Dua tahun, tapi pacar saya itu egois banget, suka-suka hatinya aja, kadang saya jenuh juga."
"Kalau jenuh, ya putus aja, susah amat." Naima memandang Rangga lewat cermin di depannya.
"Kalau cinta sudah melekat, tahi ayam rasa coklat, Bu," jawab Rangga.
Naima tertawa geli, Rangga benar- benar polos, umur sudah setua itu, tapi masih bersifat kekanak-kanakan.
"Ibu kenapa gak punya pacar?"
Giliran Rangga yang ingin tau.
Naima menjawab pelan, "belum jumpa yang cocok."
Padahal dia trauma menjalin hubungan, hatinya pernah patah dan terluka sangat parah karena dikhianati oleh orang yang paling dicintainya. Luka itu belum sembuh bahkan sudah delapan tahun berlalu.
"Mungkin ibu terlalu pemilih, jadi gak dapat pacar, padahal di kampus aja banyak lo Bu yang belum nikah, Pak Danu contohnya."
Naima terdiam, Danu pernah mengutarakan perasaannya tapi di tolak mentah-mentah. Dia takut untuk jatuh cinta lagi.
"Aku tak menyukainya, dia terlalu agresif," jawab Naima seadanya, dia ingat Danu bahkan berani mengekorinya ke mana pergi sehingga Naima sangat terganggu."
" Oh," ujar Rangga.
Naima tak lagi berniat membahas soal pacar, dia naik ke atas ranjang, merebahkan dirinya, mencoba memejamkan matanya.
Yuda... di mana dia sekarang? mungkin dia sudah memiliki anak dengan Lusi, sahabatnya sendiri, sahabat yang sangat akrab, tempat Naima bercerita dan berkeluh kesah, tapi Lusi malah menikamnya dari belakang.
Ganteng saja Tidak Cukup
Hari ini Naima mengajak Rangga berkunjung ke sebuah perpustakaan besar milik pemerintah daerah, tempat itu adalah tempat favorit Naima, dia akan lupa waktu jika sudah menjejakkan kakinya di sana.
Rangga tidak begitu tertarik, tapi demi proposal yang tak berkesudahan, apapun yang di perintahkan Naima, harus di lakukannya. Naima tipe yang tidak bisa dibantah, dia keras, disiplin dan sedikit kaku.
Pagi pertama menjadi suami istri tak ada kesan sama sekali, mereka bersikap layaknya dosen dan mahasiswa, obrolan pun tak jauh- jauh dari urusan akademik.
Rangga memilih duduk di pojok, ia membuka laptopnya sambil menarik nafas optimis. Semua demi Bapak, selama ini Bapak tidak pernah meminta apa-apa padanya, Bapak begitu gigih menyekolahkan Rangga sampai sarjana.
"Nih! semua bahan yang kau batuhkan ada di sini." Naima meletakkan setumpuk buku di depan Rangga.
"Sebanyak ini? Oh, tidak." Rangga langsung merebahkan kepalanya diatas meja. Naima memutar matanya.
"Sini aku bantu."
Naima meraih laptop Rangga, dia membuka buku satu persatu, begitu tenang dan begitu sabar, tak ada kesan terpaksa di wajahnya, dengan lincah jari halus lentiknya menari di atas keyboard laptop, sesekali dia menerangkan apa yang sedang ditulisnya di sana.
Rangga lebih tertarik mengamati mulut kecil itu berbicara dari pada melihat apa yang sedang tertulis. Kalau dilihat lebih dekat, Naima cukup cantik, terlihat lebih muda dari usianya, tinggi badannya hanya berkisar seratus enam puluh, tidak begitu tinggi, tubuhnya cendrung langsing dan mungil.
Rangga sebagai ahli penilai penampilan, merasa bahwa kacamata minus Naima sangat mengganggu untuk kecantikannya. Mata Naima bulat dengan bola mata bewarna coklat, pandangannya tegas dan memandang lawan bicara tepat dimata mereka.
Pandangan tegas itu yang membuat Rangga serasa seperti kerbau yang di cucuk hidungnya, menurut tanpa bisa membantah.
"Apa kau menyimak apa yang aku terangkan?" Naima merasa terganggu dengan pandangan menilai Rangga.
Rangga menggaruk kepalanya, dia malu tertangkap basah memperhatikan wanita itu.
"Oh? tentu saja."
"Sekarang bab satu tinggal print out, aku mau besok sudah di tangan pembimbing duamu."
"Siap, Bos," jawab Rangga takjub, bahkan Naima menyelesaikannya hanya dalam waktu lima belas menit, apakah komponen otak Naima berbeda dengan otaknya? itu tak penting lagi, yang jelas Rangga sangat senang.
"Jabis ini kita, pulang, kan?"
Naima melihat tajam.
"Tidak, ayo kita urus nilaimu yang banyak perbaikan, ada semester pendek tahun ini, ini kesempatan untuk memperbaiki nilaimu, aku heran, kenapa nilai bisa serendah itu."
Naima beranjak, meletakkan kembali buku referensi pada tempat semula.
"Gagal sudah niat bertemu pacar," ucap Rangga putus asa.
"Lupakan dulu pacarmu itu, ingat nyawamu... Ingat Bapak!" Naima kesal, laki-laki itu sangat pemalas.
"Iya, Bu." Rangga akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Bu, kita makan dulu, saya tadi belum sarapan."
"Salahmu, sarapan sudah tersedia, tapi kau memilih sarapan dengan melihat Hp-mu, tampaknya pola hidupmu pun harus diubah."
"Ibu jangan marah, Bu" Rangga mengusap lengan Naima, berniat membujuk. Dari tadi wajah itu kesal terus.
"Kau itu harus dikerasi supaya bisa disiplin."
Naima membuka kunci mobilnya dan diikuti Rangga dari belakang.
Mobil melaju mulus. Rangga memberi semangat pada dirinya di dalam hati
"Bertahanlah, Rangga! cuma enam bulan, setelah itu kau bisa bebas dari istri galakmu."
Naima melirik ekspresi Rangga.
"Kau sedang mengumpatku?"
Rangga kelabakan, apa Naima punya indra ke-enam?
"Ti... tidak, Bu. Ya ampun." Rangga meraba dadanya sendiri karena syok.
***
Seharian ini, Naima mendampingi Rangga mengurus semester pendek, semester pendek biasanya diadakan khusus bagi mahasiswa yang memiliki banyak perbaikan nilai, fasilitas khusus ini ada setiap tahun dan ditujukan untuk mahasiswa yang sudah lewat dari semester delapan.
Naima heran, apa saja yang di lakukan duplikat Aamir khan waktu muda itu di kampus, dia sama sekali tidak tau kalau semester pendek itu ada. Atau malah dia memang tak berniat untuk belajar.
Rangga dari tadi cemberut, rambut gondrong ala model kenamaan itu sudah kusut. Naima tak menghiraukan kalimat mengeluh yang selalu keluar dari mulut Rangga.
"Bu, ini sudah jam enam sore, saya capek."
"Capek atau mati," jawab Naima ketus, seharusnya dialah yang mengatakan capek.
Kampus sudah sepi, hanya ada beberapa mahasiswa dan petugas kebersihan yang berada di sana.
Mereka sekarang masih berada di ruangan Naima, melanjutkan proposal yang bab satunya sudah di ACC oleh pembimbing dua.
Pembimbing dua Rangga bertanya heran, "Apa Albert einsten mendatangimu tadi malam?"
Rangga kesal dengan sindiran itu, tapi tak masalah, tinggal sedikit lagi, dia maju ke-bab berikutnya.
Naima masih asik menandai bahan referensi untuk landasan teoritis bab dua, Rangga lebih banyak menjadi penonton dan tukang kawal Naima kemana-mana, bahkan beberapa hari ini dia menjadi bahan ejekan karena di mana ada Naima, maka di situ ada Rangga.
Tiba-tiba hujan lebat turun di luar sana, memang dari tadi siang langit gelap dan angin bertiup kencang.
Naima bangkit, menutup gorden dan menyalakan lampu.
"Bu, kita tidak tidur di sini, kan?"
Naima memandang lelah, "Kalau pekerjaanmu tidak selesai, kita tidur di sini malam ini," tegas Naima.
"Kita? Maksud ibu, saya dengan ibu tidur berdua di sini?" Rangga menyilangkan tangannya menutup dada.
Naima tambah kesal.
"Kau ini, kenapa seolah-olah mengira aku tertarik padamu."
"Saya ini ganteng, Bu, semua orang juga mengakui."
"Kecuali aku, ganteng saja tidak cukup."
Naima melanjutkan menandai buku.
Rangga mengerucutkan bibirnya, benar-benar tidak bisa diajak bercanda wanita yang satu ini.
"Bu, coba ibu tersenyum! pasti kelihatan cantik."
"Aku tak butuh menjadi cantik di depanmu."
"Bu, sekali-sekali cobalah lebih santai, jangan terlalu serius."
"Rangga." Naima menutup buku, dia membuka kaca matanya sambil menatap Rangga kesal.
"Satu hal yang harus kau ketahui dariku, aku tidak tertarik untuk merubah diriku, aku nyaman dengan semua ini, lalu kau mau apa?"
Wajah mungil itu berubah marah.
"Saya tidak bermaksud mengajari ibu, kalau ibu tersinggung saya mohon maaf, deh."
"Lain kali jangan campuri urusanku, hubungan kita tak lebih dari dosen dan mahasiswa, apa kau mengerti?"
Rangga hanya mengangguk pasrah. Wanita itu tidak terpesona sedikit pun kepadanya. Itu bagus.
Hujan di luar sana semakin lebat, petir bersahut-sahutan serentak dengan suara azan. Rangga tidak suka dengan suasana kaku begini, tapi dia takut jika salah salah bicara lagi.
"Kita sholat dulu, kalau hujan nanti reda, kita akan pulang dan melanjutkan di rumah, kau bisa menjadi imam, kan?"
"Jangan remehkan saya, Bu, saya pernah menang MTQ waktu remaja dan...."
"Kamar mandi ada di sebelah sana."
Naima langsung memotong karena tidak tertarik dengan curhatan Rangga.
Rangga ajhirnya menutup mulutnya , di depan istri pura-puranya dia selalu saja salah. Andaikan saja dia tidak butuh dosen galak itu, dari awal dia akan menjauhinya. Dia seperti patung es, cantik tapi sangat dingin, pantas saja setua itu dia tidak juga menikah.
Cerita lengkap tersedia di Innovel📜Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi📜